Powered By Blogger

Sabtu, 28 Maret 2015

MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS KESEHATAN


            Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals atau disingkat dalam bahasa Inggris MDGs) adalah Deklarasi Milenium hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai dijalankan pada September 2000, berupa delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015. Targetnya adalah tercapai kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada 2015. Target ini merupakan tantangan utama dalam pembangunan di seluruh dunia yang terurai dalam Deklarasi Milenium, dan diadopsi oleh 189 negara serta ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York pada bulan September 2000 tersebut. 
            Pemerintah Indonesia turut menghadiri Pertemuan Puncak Milenium di New York tersebut dan menandatangani Deklarasi Milenium itu. Deklarasi berisi komitmen negara masing-masing dan komunitas internasional untuk mencapai 8 buah tujuan pembangunan dalam Milenium ini (MDG), sebagai satu paket tujuan yang terukur untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan.
            Penandatanganan deklarasi ini merupakan komitmen dari pemimpin-pemimpin dunia untuk mengurangi lebih dari separuh orang-orang yang menderita akibat kelaparan, menjamin semua anak untuk menyelesaikan pendidikan dasarnya, mengentaskan kesenjangan jender pada semua tingkat pendidikan, mengurangi kematian anak balita hingga 2/3 , dan mengurangi hingga separuh jumlah orang yang tidak memiliki akses air bersih pada tahun 2015. 

Adapun 8 tujuan itu diantaranya:
1.      MDGs 1: Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan. Dalam hal ini Indonesia telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan, sebagaimana diukur oleh indikator USD 1,00 per kapita per hari, menjadi setengahnya. Kemajuan juga telah dicapai dalam upaya untuk lebih menurunkan lagi tingkat kemiskinan, sebagaimana diukur oleh garis kemiskinan nasional dari tingkat saat ini sebesar 13,33 persen (2010) menuju targetnya sebesar 8 – 10 persen pada tahun 2014. Prevalensi kekurangan gizi pada balita telah menurun dari 31 persen pada tahun 1989 menjadi 18,4 persen pada tahun 2007, sehingga Indonesia diperkirakan dapat mencapai target MDGs sebesar 15,5 persen pada tahun 2015.
2.      MDGs 2: Mencapai pendidikan Dasar Untuk Semua. Upaya Indonesia untuk mencapai target MDGs di sektor pendidikan dasar dan melek huruf sudah menuju pada pencapaian target 2015 (on-track). Bahkan Indonesia menetapkan pendidikan dasar melebihi target MDGs dengan menambahkan sekolah menengah pertama sebagai sasaran pendidikan dasar universal.
3.      MDGs 3: Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan. Berbagai kemajuan telah dicapai dalam upaya meningkatkan kesetaraan gender di semua jenjang dan jenis pendidikan. Rasio angka partisipasi murni (APM) perempuan terhadap laki-laki di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama berturut-turut sebesar 99,73 dan 101,99 pada tahun 2009, dan rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki pada kelompok usia 15 sampai 24 tahun telah mencapai 99,85. Oleh sebab itu, Indonesia sudah secara efektif menuju (on-track) pencapaian kesetaraan gender yang terkait dengan pendidikan pada tahun 2015.
4.      MDGs 4: Menurunkan Angka Kematian Anak. Angka kematian bayi di Indonesia menunjukkan penurunan yang cukup signifikan dari 68 pada tahun 1991 menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007, sehingga target sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 diperkirakan dapat tercapai. Demikian pula dengan target kematian anak diperkirakan akan dapat tercapai. Namun demikian, masih terjadi disparitas regional pencapaian target, yang mencerminkan adanya perbedaan akses atas pelayanan kesehatan, terutama di daerah-daerah miskin dan terpencil. Prioritas kedepan adalah memperkuat sistem kesehatan dan meningkatkan akses pada pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat miskin dan daerah terpencil.
5.      MDGs 5: Meningkatkan Kesehatan Ibu. Dari semua target MDGs, kinerja penurunan angka kematian ibu secara global masih rendah. Di Indonesia, angka kematian ibu melahirkan (MMR/Maternal Mortality Rate) menurun dari 390 pada tahun 1991 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007.
Target pencapaian MDG pada tahun 2015 adalah sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup, sehingga diperlukan kerja keras untuk mencapai target tersebut. Walaupun pelayanan antenatal dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih cukup tinggi, beberapa faktor seperti risiko tinggi pada saat kehamilan dan aborsi perlu mendapat perhatian. Upaya menurunkan angka kematian ibu didukung pula dengan meningkatkan angka pemakaian kontrasepsi dan menurunkan unmet need yang dilakukan melalui peningkatan akses dan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi.
6.      MDGs 6: Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular lainnya.  Tingkat prevalensi HIV/AIDS cenderung meningkat di Indonesia, terutama pada kelompok risiko tinggi, yaitu pengguna narkoba suntik dan pekerja seks. Jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Indonesia meningkat dua kali lipat antara tahun 2004 dan 2005. Angka kejadian malaria per 1.000 penduduk menurun dari 4,68 pada tahun 1990 menjadi 1,85 pada tahun 2009. 
7.      MDGs 7: Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup.  Tingkat emisi gas rumah kaca di Indonesia cukup tinggi, walaupun upaya peningkatan luas hutan, pemberantasan pembalakan hutan, dan komitmen untuk melaksanakan kerangka kebijakan penurunan emisi karbon dioksida dalam 20 tahun kedepan telah dilakukan. Proporsi rumah tangga dengan akses air minum layak meningkat dari 37,73 persen pada tahun 1993 menjadi 47,71 persen pada tahun 2009.
8.      MDGs 8: Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan.  Indonesia merupakan partisipan aktif dalam berbagai forum internasional dan mempunyai komitmen untuk terus mengembangkan kemitraan yang bermanfaat dengan berbagai organisasi multilateral, mitra bilateral dan sektor swasta untuk mencapai pola pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan (pro-poor).
            Tapi kali ini, mari kita fokuskan pembahasan pada tujuan-tujuan MDGs yang berkaitan langsung dengan dunia kesehatan dan saling berkaitan pula satu sama lain, yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, menurunkan angka kematian anak, serta meningkatkan kesehatan ibu.
            Tujuan pertama adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. Salah satu target spesifik yang telah ditetapkan untuk tujuan ini adalah antara lain adalah menurunnya jumlah balita dengan berat badan rendah/kekurangan gizi. Begitu banyak berita di surat kabar atau saluran televisi nasional yang mengabarkan tentang anak yang mengalami malnutrisi atau kekurangan nutrisi. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menyatakan bahwa capaian penurunan persentase anak malnutrisi tahun 2010 mencapai 17,9% , masih sedikit di atas target MDGs 2015 yaitu 15,5%. Dalam hal ini kita dapat melihat usaha pemerintah yang cukup baik dalam perbaikan gizi anak-anak yang diwujudkan dalam bentuk Pemberian Makanan Tambahan (PMT), pemberian vitamin serta suplemen yang dibutuhkan bagi balita oleh Posyandu dan Puskesmas, serta perbaikan layanan kesehatan. Tapi sebagaimana kita tahu bahwa masih banyak anak-anak yang tidak mendapatkan akses untuk layanan kesehatan yang baik karena masalah sarana dan prasarana (jalan yang rusak, rumah yang terpencil) serta karena masalah ekonomi.            
            Hal tersebut adalah alasan kenapa kemiskinan dan kelaparan saling berkaitan satu sama lain. Hal-hal yang dapat pemerintah lakukan adalah menyediakan akses yang lebih baik menuju layanan kesehatan serta meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui penambahan lapangan kerja, dll. Pemerintah juga dapat menggencarkan blusukan ke desa-desa atau tempat-tempat lain untuk program PMT dan memberikan penyuluhan tentang gizi makanan yang seimbang yang mungkin dapat melibatkan mahasiswa kesehatan. Hal lain yang dapat dilakukan adalah penyuluhan ke sekolah-sekolah dasar dan menengah serta pemberian makanan yang menyehatkan dan bernutrisi baik di sekolah-sekolah.
            Tujuan selanjutnya adalah menurunkan angka kematian anak hingga 2/3 dalam kurun waktu 1990-2015. Data dari BPS dan SDKI menunjukkan bahwa penurunan angka kematian anak sudah sejalan dengan sasaran MDGs, yaitu angka kematian balita dari 97 (tahun 1991) menjadi 44 perseribu kelahiran hidup (tahun 2007), angka kematian bayi dari 68 menjadi 34 perseribu kelahiran, dan neonatal dari 32 menjadi 19 perseribu kelahiran. Hal ini sekali lagi menunjukkan kinerja pemerintah yang patut kita apresiasi dalam hal ini. Tapi tentu saja kita dapat mengharapkan dan mengusahakan perkembangan yang lebih baik dari yang telah dicapai. Salah satunya adalah dengan lebih memperhatikan (kembali lagi) asupan makanan bergizi yang cukup bagi anak-anak, serta diperkuat dengan program ASI Eksklusif. Hal lain yang perlu kita cermati adalah penanganan kelahiran oleh tenaga kesehatan yang berpengalaman. Karena di daerah-daerah tertentu masih banyak para ibu hamil yang lebih mempercayakan proses persalinan kepada dukun-dukun beranak yang belum jelas kemampuannya serta seberapa steril alat-alat yang digunakan. Untuk itu sekali lagi, kemudahan akses layanan kesehatan sangat diperlukan.
            Tujuan terakhir adalah AKI atau angka kematian ibu dan meningkatkan kesehatan ibu. Sayangnya, indikator AKI merupakan salah satu yang diramalkan tidak mudah untuk dicapai. Data SDKI pada 2007 menunjukkan AKI sebesar 228/100.000 kelahiran hidup, masih jauh dari harapan MDGs sebesar 102/100.000 kelahiran hidup. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan dan kurangnya tenaga kesehatan berpengalaman seperti bidan di daerah-daerah terpencil. Hal ini juga dikarenakan pembangunan yang tidak merata antara satu provinsi dengan provinsi lain, yang menyebabkan tersedianya layanan kesehatan yang tidak sebanding antar provinsi, serta rasio jumlah Puskesmas yang tidak sebanding dengan jumlah penduduk. KB dan pernikahan dini juga merupakan faktor-faktor lain yang patut dicermati, terutama di daerah-daerah pedesaan. Akses terhadap kontrasepsi yang kurang dan jarak kelahiran yang terlalu dekat dapat meningkatkan resiko kematian ibu. Pernikahan dini yang dilakukan oleh perempuan yang belum cukup umur dan belum cukup mampu fisiknya untuk proses kehamilan juga memperparah hal ini.
            Intinya, hal-hal yang dapat mengatasi 3 permasalahan ini dan membantu pencapaian tujuan-tujuan MDGs ini adalah peningkatan kecukupan gizi masyarakat, digencarkannya penyuluhan tentang kesehatan, serta kemudahan akses layanan kesehatan dan penambahan jumlah layanan kesehatan itu sendiri dan tenaga kesehatan yang berpengalaman. Dengan meningkatkan pelaksanaan hal-hal tersebut, diharapkan kita dapat menuju Indonesia yang lebih sehat dan tercapainya tujuan-tujuan MDGs yang berkaitan.

Sumber :


Sabtu, 07 Februari 2015

Manajemen Kesehatan


1.1       Definisi Manajemen Kesehatan

            Manajemen adalah suatu kegiatan untuk mengatur orang lain guna mencapai suatu tujuan atau menyelesaikan pekerjaan. Apabila batasan ini diterapkan dalam bidang kesehatan masyarakat dapat dikatakan Manajemen kesehatan adalah suatu kegiatan atau suatu seni untuk mengatur para petugas kesehatan dan nonpetugas kesehatan guna meningkatkan kesehatan masyarakat melalui program kesehatan.
            Dengan kata lain manajemen kesehatan masyarakat adalah penerapan manajemen umum dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat sehingga yang menjadi objek dan sasaran manajemen adalah sistem pelayanan kesehatan masyarakat.

2.1       Fungsi Manajemen Kesehatan
 
Pada umumnya, fungsi manajemen dalam suatu organisasi meliputi:
·         Planning (perencanaan) adalah sebuah proses yang dimulai dengan merumuskan tujuan organisasi sampai dengan menetapkan alternative kegiatan untuk pencapaiannya.
·         Organizing (pengorganisasian) adalah rangkaian kegiatan menajemen untuk menghimpun semua sumber daya (potensi) yang dimiliki oleh organisasi dan memanfaatkannya secara efisien untuk mencapai tujuan organisasi.

·         Actuating (directing, commanding, motivating, staffing, coordinating) atau fungsi penggerakan pelaksanaan adalah proses bimbingan kepada staff agar mereka mampu bekerja secara optimal menjalankan tugas-tugas pokoknya sesuai dengan ketrampilan yang telah dimiliki, dan dukungan sumber daya yang tersedia. 
·         Controlling (monitoring) atau pengawasan dan pengendalian (wasdal) adalah proses untuk mengamati secara terus menerus pelaksanaan kegiatan sesuai dengan rencana kerja yang sudah disusun dan mengadakan koreksi jika terjadi penyimpangan


3.1       Penerapan Manajemen Di Bidang Kesehatan
            Sehat adalah suatu keadaan yang optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan tidak hanya terbatas pada keadaan bebas dari penyakit atau kelemahan saja. Tujuan sehat yang ingin dicapai oleh sistem kesehatan adalah peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Sesuai dengan tujuan sistem kesehatan tersebut, administrasi (manajemen) kesehatan tidak dapat disamakan dengan administrasi niaga (business adminstration) yang lebih banyak berorientasi pada upaya untuk mencari keuntungan finansial (profit oriented). Administrasi kesehatan lebih tepat digolongkan ke dalam administrasi umum/publik (public administration) oleh karena organisasi kesehatan lebih mementingkan pencapaian kesejahteraan masyarakat umum.
            Manajemen kesehatan harus dikembangkan di tiap-tiap organisasi kesehatan di Indonesia seperti Kantor Depkes, Dinas Kesehatan di daerah, Rumah Sakit dan Puskesmas dan jajarannya. Untuk memahami penerapan manajemen kesehatan di RS, Dinas Kesehatan dan Puskesmas perlu dilakukan kajian proses penyusunan rencana tahunan Depkes dan Dinas Kesehatan di daerah. Khusus untuk tingkat Puskesmas, penerapan manajemen dapat dipelajari melalui perencanaan yang disusun setiap lima tahun (micro planning), pembagian dan uraian tugas staf Puskesmas sesuai dengan masing-masing tugas pokoknya.
Sesuai dengan tujuan sistem kesehatan tersebut, administrasi (manajemen) kesehatan tidak dapat disamakan dengan administrasi niaga (business adminstration) yang lebih banyak berorientasi pada upaya untuk mencari keuntungan finansial (profit oriented). Administrasi kesehatan lebih tepat digolongkan ke dalam administrasi umum/publik (public administration) oleh karena organisasi kesehatan lebih mementingkan pencapaian kesejahteraan masyarakat umum. Manajemen kesehatan harus dikembangkan di tiap-tiap organisasi kesehatan di Indonesia.

4.1       Ruang Lingkup Manajemen Kesehatan
1. manajemen personalia (mengurusi SDM)
2. manajemen keuangan
3. manajemen logistik (mengurusi logistik-obat dan peralatan)
4. manajemen pelayanan kesehatan dan sistem informasi manajemen (mengurusi pelayanan kesehatan )

5.1       Ekonomi Layanan Kesehatan
            Masyarakat Indonesia sejak awal tahun 1998 kembali dilanda krisis ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 1965. Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 juga memperburuk krisis ekonomi yang berkepanjangan juga berdampak pada bidang kesehatan. Kemampuan pusat-pusat pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta yang menyediakan jasa pelayanan kesehatan bermutu dan harga obat yang terjangkau oleh masyarakat umum semakin menurun. Di sisi lain, kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kesadaran mereka akan arti hidup sehat. Namun, daya beli masyarakat untuk memanfaatkan jasa pelayanan kesehatan semakin menurun akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, terutama harga obat-obatan yang hampir semua komponennya masih diimpor.
            Depkes sudah mengantisipasi dampak krisis ekonomi di bidang kesehatan dengan menyesuaikan terus kebijakan pelayanannya terutama di tingkat operasional. Peningkatan mutu pelayanan kesehatan primer, baik di Puskesmas maupun di RS Kabupaten harus dijadikan indikator penerapan kebijakan baru di bidang pelayanan kesehatan. Realokasi dana DAU dan DAK juga perlu terus dikembangkan oleh Pemda untuk membantu penduduk miskin. Beberapa kebijakan operasional yang sudah mendapat perhatian dalam menghadapi krisis kesehatan ini adalah :
1.      Meletakkan landasan kebijakan kesehatan yang lebih bersifat pencegahan (preventif)
2.      Kebijakan obat nasional harus diarahkan untuk pemasyarakatan obat-obatan esensial yang terjangkau oleh masyarakat. Meskipun dengan dalih untuk membuka peluang bagi penanaman modal asing (PMA), pembatasan jumlah industri farmasi harus dilaksanakan secara ketat.
3.      Etika kedokteran dan tanggung jawab profesi seharusnya mendapat porsi yang lebih besar dalam pendidikan dokter agar dokter yang ditamatkan oleh Fakultas Kedokteran di Indonesia juga dapat berfungsi sebagai cendikiawan di bidang kesehatan.
4.      Kesehatan merupakan hak masyarakat yang perlu terus diperjuangkan terutama penduduk miskin karena sudah merupakan komitmen global pemerintah. Oleh karena itu, LSM kesehatan perlu terus diberdayakan (bagian dari reformasi kesehatan) agar mereka mampu menjadi pendamping kelompok-kelompok masyarakat yang membutuhkan perlindungan.

6.1 Pembiayaan Kesehatan
A. Sumber utama pembiayaan kesehatan
1. Pemerintah
2. Swasta
3. Masyarakat dalam bentuk pembiayaan langsung (fee for service) dan asuransi
4. Sumber-sumber lain dalam bentuk hibah atau pinjaman dari luar negeri

B. Pembiayaan kesehatan di masa depan akan semakin mahal karena :
1. Pertumbuhan ekonomi nasional yang juga mengakibatkan meningkatnya tuntutan (demand) masyarakat akan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu.
2. Perkembangan teknologi kedokteran dan pertumbuhan industri kedokteran. Hampir semua teknologi kedokteran masih diimpor sehingga harganya relatif mahal karena nilai rupiah kita jatuh dibandingkan dolar Amerika.
3. Subsidi Pemerintah semakin menurun akibat krisis ekonomi tahun 1998. Biaya pelayanan kesehatan di Indonesia sebelum krisis adalah 18 US dólar/kapita/tahun, tapi kondisi ini menurun lagi setelah krisis yaitu 12 US dólar/kapita/tahun pada tahun 2000. Seiring dengan turunnya kemampuan pemerintah, daya beli masyarakat juga menurun untuk mengakses pelayanan kesehatan.

  
7.1       Sumber Kegiatan Sektor Kesehatan

1.  Pemerintah, yaitu APBN yang disalurkan ke daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, porsi dana sektor kesehatan yang bersumber dari APBN menurun. Pemerintah pusat juga masih tetap membantu pelaksanaan program kesehatan di daerah melalui bantuan dana dekonsentrasi khususnya untuk pemberantasan penyakit menular.
2.  APBD yang bersumber dari PAD (pendapatan asli daerah) baik yang bersumber dari pajak, atau penghasilan Badan Usaha Milik Pemda. Mobilisasi dana kesehatan juga bisa bersumber dari masyarakat dalam bentuk asuransi kesehatan, investasi pembangunan sarana pelayanan kesehatan oleh pihak swasta dan biaya langsung yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk perawatan kesehatan. Dana pembangunan kesehatan yang diserap oleh berbagai sektor harus dibedakan dengan dana sektor kesehatan yang diserap oleh Dinas kesehatan.
3. Bantuan luar negeri, dapat dalam bentuk hibah (grant) atau pinjaman (loan) untuk investasi atau pengembangan pelayanan kesehatan.

8.1       Asuransi Kesehatan

            Pembiayaan kesehatan yang bersumber dari asuransi kesehatan merupakan salah satu cara yang terbaik untuk mengantisipasi mahalnya biaya pelayanan kesehatan. Alasannyaantara lain :
1.   Pemerintah dapat mendiversifikasi sumber-sumber pendapatan dari sektor kesehatan.
2.   Meningkatkan efisiensi dengan cara memberikan peran kepada masyarakat dalam pembiayaan pelayanan kesehatan.
3.   Memeratakan beban biaya kesehatan menurut waktu dan populasi yang lebih luas sehingga dapat mengurangi resiko secara individu.
            Asuransi kesehatan adalah suatu mekanisme pengalihan resiko (sakit) dari resiko perorangan menjadi resiko kelompok. Dengan cara mengalihkan resiko individu menjadi resiko kelompok, beban ekonomi yang harus dipikul oleh masing-masing peserta asuransi akan lebih ringan tetapi mengandung kepastian karena memperoleh jaminan.


9.1       Jenis asuransi kesehatan yang berkembang di Indonesia
1.      Asuransi kesehatan sosial (Sosial Health Insurance). Contoh : PT Askes untuk PNS dan penerima pensiun dan PT Jamsostek untuk tenaga kerja swasta.
2.      Asuransi kesehatan komersial perorangan (Private Voluntary Health Insurance). Contoh : Lippo Life, BNI Life, Tugu Mandiri, Takaful, dll.
3.      Asuransi kesehatan komersial kelompok (Regulated Private Health Insurance). Contoh : produk Asuransi Kesehatan Sukarela oleh PT Askes.

Minggu, 30 November 2014

MAKALAH Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan

BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Sejarah Transformasi Askes menjadi BPJS Kesehatan

Kesehatan tidak bisa digantikan dengan uang, dan tidak ada orang kaya dalam menghadapi penyakit karena dalam sekejap kekayaan yang dimiliki seseorang dapat hilang untuk mengobati penyakit yang dideritanya.Begitu pula dengan resiko kecelakaan dan kematian. Suatu peristiwa yang tidak kita harapkan namun mungkin saja terjadi kapan saja dimana kecelakaan dapat menyebabkan merosotnya kesehatan, kecacatan, ataupun kematian karenanya kita kehilangan pendapatan, baik sementara maupun permanen.
Pada tahun Pada 2030, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia adalah 270 juta orang. 70 juta diantaranya diduga berumur lebih dari 60 tahun. Dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2030 terdapat 25%  penduduk Indonesia adalah lansia. Lansia ini sendiri rentan mengalami berbagai penyakit degenerative yang akhirnya dapat menurunkan produktivitas dan berbagai dampak lainnya. Apabila tidak aday ang menjamin hal ini maka suatu saat hal ini mungkin dapat menjadi masalah yang besar.
Seperti menemukan air di gurun, ketika Presiden Megawati mensahkan UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada 19 Oktober 2004, banyak pihak berharap tudingan Indonesia sebagai ”negara tanpa jaminan sosial” akan segera luntur dan menjawab permasalahan di atas.
UU SJSN dan UU BPJS memberi arti kata ‘transformasi’ sebagai perubahan bentuk BUMN Persero yang menyelenggarakan program jaminan sosial, menjadi BPJS.  Perubahan bentuk bermakna perubahan karakteristik badan penyelenggara jaminan sosial sebagai penyesuaian atas perubahan filosofi penyelenggaraan program jaminan sosial.  Perubahan karakteristik berarti perubahan bentuk badan hukum yang mencakup pendirian, ruang lingkup kerja dan kewenangan badan yang selanjutnya diikuti dengan perubahan struktur organisasi, prosedur kerja dan budaya organisasi.
Transformasi menjadi kosa kata penting sejak tujuh tahun terakhir di Indonesia, tepatnya sejak diundangkannya UU SJSN pada 19 Oktober 2004. Transformasi akan menghadirkan identitas baru dalam penyelenggaraan program jaminan sosial di Indonesia. Perintah transformasi kelembagaan badan penyelenggara jaminan sosial diatur dalam UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN).  Penjelasan Umum alinea kesepuluh UU SJSN menjelaskan bahwa, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dibentuk oleh UU SJSN adalah transformasi dari badan penyelenggara jaminan sosial yang tengah berjalan dan dimungkinkan membentuk badan penyelenggara baru.
Transformasi badan penyelenggara diatur lebih rinci dalam UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).  UU BPJS adalah pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara No. 007/PUU-III/2005. 
Penjelasan Umum UU BPJS alinea keempat mengemukakan bahwa UU BPJS merupakan pelaksanaan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 UU SJSN pasca Putusan Mahkamah Konstitusi.  Kedua pasal ini mengamanatkan pembentukan BPJS dan transformasi kelembagaan PT ASKES (Persero),  PT ASABRI (Persero), PT JAMSOSTEK (Persero) dan PT TASPEN (Persero) menjadi BPJS.  Transformasi kelembagaan diikuti adanya pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas, serta hak dan kewajiban.
Dengan telah disahkan dan diundangkannya UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS), pada tanggal 25 November 2011, maka PT Askes (Persero)  ditranformasi menjadi BPJS Kesehatan. Transformasi tersebut meliputi perubahan sifat, organ dan prinsip pengelolaan, atau dengan kata lain berkaitan dengan perubahan stuktur dan budaya organisasi.
UU BPJS menentukan bahwa PT Askes (Persero) dinyatakan bubar tanpa likuidasi pada saat mulai beroperasinya BPJS Kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014. Tranformasi PT Askes (Persero) menjadi badan hukum publik BPJS Kesehatan diantarkan oleh Dewan Komisaris dan Direksi PT Askes (Persero) sampai dengan mulai beroperasinya BPJS Kesehatan.
Masa persiapan transformasi PT ASKES (Persero) menjadi BPJS Kesehatan adalah selama dua tahun terhitung mulai 25 November 2011 sampai dengan 31 Desember 2013.  Dalam masa persiapan, Dewan Komisaris dan Direksi PT Askes (Persero) ditugasi untuk menyiapkan operasional BPJS Kesehatan, serta menyiapkan pengalihan asset dan liabilitas, pegawai serta hak dan kewajiban PT Askes (Persero) ke BPJS Kesehatan.
Penyiapan operasional BPJS Kesehatan mencakup:
1.    penyusunan sistem dan prosedur operasional BPJS Kesehatan;
2.    sosialisasi kepada seluruh pemangku kepentingan;
3.    penentuan program jaminan kesehatan yang sesuai dengan UU SJSN;
4.    koordinasi dengan Kementerian Kesehatan untuk mengalihkan penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas);
5.    kordinasi dengan KemHan,TNI dan POLRI untuk mengalihkan penyelenggaraan program pelayanan kesehatan bagi anggota TNI/POLRI dan PNS di lingkungan KemHan,TNI/POLRI; dan
6.    koordinasi dengan PT Jamsostek (Persero) untuk mengalihkan penyelenggaraan program jaminan pemeliharaan kesehatan Jamsostek.


Penyiapan pengalihan asset dan liabilitas, pegawai serta hak dan kewajiban PT Askes (Persero) ke BPJS Kesehatan, mencakup penunjukan kantor akuntan publik untuk melakukan audit atas:
*      laporan keuangan penutup PT Askes(Persero)
*      laporan posisi keuangan pembukaan BPJS Kes
*      laporan posisi keuangan pembukaan dana jaminan kesehatan

Pada saat BPJS Kesehatan mulai beroperasi  pada 1 Januari 2014, PT Askes (Persero) dinyatakan bubar tanpa likuidasi.  Semua asset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Askes (Persero) menjadi asset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum BPJS Kesehatan, dan semua pegawai PT Askes (Persero) menjadi pegawai BPJS Kesehatan.
Mulai 1 Januari 2014, program-program jaminan kesehatan sosial yang telah diselenggarakan oleh pemerintah dialihkan kepada BPJS Kesehatan. Kementerian kesehatan tidak lagi menyelenggarakan program Jamkesmas.  Kementerian Pertahanan,TNI dan POLRI tidak lagi menyelenggarakan program pelayanan kesehatan bagi pesertanya, kecuali untuk pelayanan kesehatan tertentu berkaitan dengan kegiatan operasionalnya yang ditentukan dengan Peraturan Pemerintah.  PT Jamsostek (Persero) tidak lagi menyelenggarakan program jaminan kesehatan pekerja.

Mencermati ruang lingkup pengaturan transformasi badan penyelenggara jaminan sosial yang diatur dalam UU SJSN dan UU BPJS, keberhasilan transformasi bergantung pada ketersediaan peraturan pelaksanaan yang harmonis, konsisten dan dilaksanakan secara efektif.  Kemauan politik yang kuat dari Pemerintah dan komitmen pemangku kepentingan untuk melaksanakan trasnformasi setidaknya tercermin dari kesungguhan menyelesaikan agenda-agenda regulasi yang terbengkalai.
Peraturan perundangan jaminan sosial yang efektif akan berdampak pada kepercayaan dan dukungan publik akan transformasi badan penyelenggara.   Publik hendaknya dapat melihat dan merasakan bahwa transformasi badan penyelenggara bermanfaat bagi peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan SJSN, sebagai salah satu pilar untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.  Pembangunan dukungan publik diiringi dengan sosialisasi yang intensif dan menjangkau segenap lapisan masyarakat. Sosialisasi diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran pentingnya penyelenggaraan SJSN dan penataan kembali penyelenggaraan program jaminan sosial agar sesuai dengan prinsip-prinsip jaminan sosial yang universal, sebagaimana diatur dalam Konstitusi dan UU SJSN


2.2       Pengertian Dan dasar Hukum

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial (UU No 24 Tahun 2011). BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.

A. Dasar Hukum
1.      Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Kesehatan;
2.      Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3.      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan;
4.      Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.

2.3       Hak dan Kewajiban Peserta BPJS Kesehatan

A. Hak Peserta
1.      Mendapatkan kartu peserta sebagai bukti sah untuk memperoleh pelayanan kesehatan;
2.      Memperoleh manfaat dan informasi tentang hak dan kewajiban serta prosedur pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
3.      Mendapatkan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan; dan
4.      Menyampaikan keluhan/pengaduan, kritik dan saran secara lisan atau tertulis ke Kantor  BPJS Kesehatan.

B. Kewajiban Peserta
1.      Mendaftarkan dirinya sebagai peserta serta membayar iuran yang besarannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku ;
2.      Melaporkan perubahan data peserta, baik karena pernikahan, perceraian, kematian, kelahiran, pindah alamat atau pindah fasilitas kesehatan tingkat I;
3.      Menjaga Kartu Peserta agar tidak rusak, hilang atau dimanfaatkan oleh orang yang tidak berhak.
4.      Mentaati semua ketentuan dan tata cara pelayanan kesehatan.

2.4       Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional

Ada 2 (dua) manfaat Jaminan Kesehatan, yakni berupa pelayanan kesehatan dan Manfaat non medis meliputi akomodasi dan ambulans. Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.
Pelayanan yang diberikan bersifat paripurna (preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif) tidak dipengaruhi oleh besarnya biaya premi bagi peserta. Promotif dan preventif yang diberikan dalam konteks upaya kesehatan perorangan (personal care). Manfaat pelayanan promotif dan preventif meliputi pemberian pelayanan:
A.  Penyuluhan kesehatan perorangan, meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat.
B.  Imunisasi dasar, meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertusis Tetanus dan HepatitisB (DPTHB), Polio, dan Campak.
C. Keluarga berencana, meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan tubektomi bekerja sama dengan lembaga yang membidangi keluarga berencana. Vaksin untuk imunisasi dasar dan alat kontrasepsi dasar disediakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
d. Skrining kesehatan, diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu.
Meskipun manfaat yang dijamin dalam JKN bersifat komprehensif namun masih ada yang dibatasi, yaitu kaca mata, alat bantu dengar (hearing aid), alat bantu gerak (tongkat penyangga, kursi roda dan korset). Sedangkan yang tidak dijamin meliputi:
a.   Tidak sesuai prosedur
b.   Pelayanan diluar Faskes Yg bekerjasama dng BPJS
c.   General check up, pengobatan alternative dan Pelayanan bertujuan kosmetik
d.   Pengobatan untuk mendapatkan keturunan, Pengobatan Impotensi
e.   Pelayanan Kesehatan Pada Saat Bencana
f.   Pasien Bunuh Diri /Penyakit Yg Timbul Akibat Kesengajaan Untuk Menyiksa Diri Sendiri/ Bunuh Diri/Narkoba

2.5       Pembiayaan

A. Pengertian
Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan (pasal 16, Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan).
Tarif Kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka olehBPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkanjumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlahpelayanan kesehatan yang diberikan. Sedangkan Tarif Non Kapitasi adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatankepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkan jenis dan jumlahpelayanan kesehatan yang diberikan.
Tarif Indonesian - Case Based Groups yang selanjutnya disebut Tarif INA-CBG’sadalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada FasilitasKesehatan Tingkat Lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepadapengelompokan diagnosis penyakit.

B. Pembayar Iuran
1.   Bagi Peserta PBI, iuran dibayar oleh Pemerintah.
2.   Bagi Peserta Pekerja Penerima Upah, Iurannya dibayar oleh Pemberi Kerja dan Pekerja.
3.   Bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja iuran dibayar oleh Peserta yang bersangkutan.
4.   Besarnya Iuran Jaminan Kesehatan Nasional ditetapkan melalui Peraturan Presiden dan ditinjau ulang secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak.

C. Pembayaran Iuran
Setiap Peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu jumlah nominal tertentu (bukan penerima upah dan PBI). Setiap Pemberi Kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran peserta yang menjadi tanggung jawabnya, dan membayarkan iuran tersebut setiap bulan kepada BPJS Kesehatan secara berkala (paling lambat tanggal 10 setiap bulan). Apabila tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada hari kerja berikutnya. Keterlambatan pembayaran iuran JKN dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) perbulan dari total iuran yang tertunggak dan dibayar oleh Pemberi Kerja.

Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja wajib membayar iuran JKN pada setiap bulan yang dibayarkan palinglambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan kepada BPJS Kesehatan. Pembayaran iuran JKN dapat dilakukan diawal.
BPJS Kesehatan menghitung kelebihan atau kekurangan iuran JKN sesuai dengan Gaji atau Upah Peserta. Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran, BPJS Kesehatan memberitahukan secara tertulis kepada Pemberi Kerja dan/atau Peserta paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya iuran. Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran diperhitungkan dengan pembayaran Iuran bulan berikutnya.
Iuran premi kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pekerjainformal. Besaran iuran bagi pekerja bukan penerima upah itu adalah Rp25.500 per bulan untuk layanan rawat inap kelas III, Rp42.500 untuk kelas II dan Rp59.500 untuk kelas I.
Untuk standar tarif pelayanan kesehatan pada Fasilitas kesehatan tingkat pertama ada di lampiran 1.

C. Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan
BPJS Kesehatan akan membayar kepada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dengan Kapitasi. Untuk Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan membayar dengan sistem paket INA CBG’s. Mengingat kondisi geografis Indonesia, tidak semua Fasilitas Kesehatan dapat dijangkau dengan mudah. Maka, jika di suatu daerah tidak memungkinkan pembayaran berdasarkan Kapitasi, BPJS Kesehatan diberi wewenang untuk melakukan pembayaran dengan mekanisme lain yang lebih berhasil.
Semua Fasilitas Kesehatan meskipun tidak menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan wajib melayani pasien dalam keadaan gawat darurat, setelah keadaan gawat daruratnya teratasi dan pasien dapat dipindahkan, maka fasilitas kesehatan tersebut wajib merujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan akan membayar kepada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerjasama setelah memberikan pelayanan gawat darurat setara dengan tarif yang berlaku di wilayah tersebut.

2.6       Kepesertaan

Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar Iuran.
Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain.
Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja, atau penyelenggara negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya. Peserta tersebut meliputi: Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN dan bukan PBI JKN dengan rincian sebagai berikut:
a.   Peserta PBI Jaminan Kesehatan meliputi orang yang tergolong fakir mis­kin dan orang tidak mampu.
b.   Peserta bukan PBI adalah Peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu yang terdiri atas:
1) Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu:
                        a. Pegawai Negeri Sipil;
                        b. Anggota TNI;
                        c. Anggota Polri;
                        d. Pejabat Negara;
                        e. Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri;
                        f. Pegawai Swasta; dan
g. Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf f yang menerima Upah.
2) Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu:
 a. Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri dan
 b. Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima Upah.
 c. Pekerja sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, termasuk warga negara asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan.
3) Bukan Pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas:
                        a. Investor;
                        b. Pemberi Kerja;
                        c. Penerima Pensiun;
                        d. Veteran;
                        e. Perintis Kemerdekaan; dan
                        f. Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf e yang    mampu membayar Iuran.
4) Penerima pensiun terdiri atas:
a. Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;
b. Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun;
c. Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;
d. Penerima Pensiun selain huruf a, huruf b, dan huruf c; dan
e. Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d yang mendapat hak pensiun.
f. Anggota keluarga bagi pekerja penerima upah meliputi:
a.       Istri atau suami yang sah dari Peserta; dan
b.      Anak kandung, anak tiri dan/atau anak angkat yang sah dari Peserta, dengan kriteria: tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri; dan belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (duapuluh lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal.
c.       Sedangkan Peserta bukan PBI JKN dapat juga mengikutsertakan anggota keluarga yang lain.
5) WNI di Luar Negeri
Jaminan kesehatan bagi pekerja WNI yang bekerja di luar negeri diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tersendiri.

ü  Syarat pendaftaran
Syarat pendaftaran akan diatur kemudian dalam peraturan BPJS.
ü  Lokasi pendaftaran
Pendaftaran Peserta dilakukan di kantor BPJS terdekat/setempat.
ü  Prosedur pendaftaran Peserta
a.      Pemerintah mendaftarkan PBI JKN sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan.
b.      Pemberi Kerja mendaftarkan pekerjanya atau pekerja dapat mendaftarkan diri sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan.
c.      Bukan pekerja dan peserta lainnya wajib mendaftarkan diri dan keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan.
ü  Masa berlaku kepesertaan
a.      Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional berlaku selama yang bersangkutan membayar Iuran sesuai dengan kelompok peserta.
b.      Status kepesertaan akan hilang bila Peserta tidak membayar Iuran atau meninggal dunia.
c.      Ketentuan lebih lanjut terhadap hal tersebut diatas, akan diatur oleh Peraturan BPJS.


ü  Pentahapan kepesertaan
Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional dilakukan secara bertahap, yaitu tahap pertama mulai 1 Januari 2014, kepesertaannya paling sedikit meliputi: PBI Jaminan Kesehatan; Anggota TNI/PNS di lingkungan Kementerian Pertahanan dan anggota keluarganya; Anggota Polri/PNS di lingkungan Polri dan anggota keluarganya; peserta asuransi kesehatan PT Askes (Persero) beserta anggota keluarganya, serta peserta jaminan pemeliharaan kesehatan Jamsostek dan anggota keluarganya. Selanjutnya tahap kedua meliputi seluruh penduduk yang belum masuk sebagai Peserta BPJS Kesehatan paling lambat pada tanggal 1 Januari 2019.

2.7       Pertanggung Jawaban BPJS

BPJS Kesehatan wajib membayar Fasilitas Kesehatan atas pelayanan yang diberikan kepada Peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak dokumen klaim diterima lengkap. Besaran pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi Fasilitas Kesehatan di wilayah tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Dalam hal tidak ada kesepakatan atas besaran pembayaran, Menteri Kesehatan memutuskan besaran pembayaran atas program JKN yang diberikan. Asosiasi Fasilitas Kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Dalam JKN, peserta dapat meminta manfaat tambahan berupa manfaat yang bersifat non medis berupa akomodasi. Misalnya: Peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi daripada haknya, dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan, yang disebut dengan iur biaya(additional charge). Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi peserta PBI.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya, BPJS Kesehatan wajib menyampaikan pertanggungjawaban dalam bentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan (periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember). Laporan yang telah diaudit oleh akuntan publik dikirimkan kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN paling lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya. Laporan tersebut dipublikasikan dalam bentuk ringkasan eksekutif melalui media massa elektronik dan melalui paling sedikit 2 (dua) media massa cetak yang memiliki peredaran luas secara nasional, paling lambat tanggal 31 Juli tahun berikutnya.

2.8       Pelayanan

A.        Jenis Pelayanan
Ada 2 (dua) jenis pelayanan yang akan diperoleh oleh Peserta JKN, yaitu berupapelayanan kesehatan (manfaat medis) serta akomodasi dan ambulans (manfaat non medis).Ambulanshanya diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.
B.        Prosedur Pelayanan
Peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan pertama-tama harus memperoleh pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama. Bila Peserta memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, maka hal itu harus dilakukan melalui rujukan oleh Fasilitas Kesehatan tingkat pertama, kecuali dalam keadaan kegawatdaruratan medis.
C.        Kompensasi Pelayanan
Bila di suatu daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi, yang dapat berupa: penggantian uang tunai, pengiriman tenaga kesehatan atau penyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu. Penggantian uang tunai hanya digunakan untuk biaya pelayanan kesehatan dan transportasi.
C.        Penyelenggara Pelayanan Kesehatan
Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua Fasilitas Kesehatan yang menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan baik fasilitas kesehatan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan swasta yang memenuhi persyaratan melalui proses kredensialing danrekredensialing.



2.9    Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional merupakan bagian dari sistem kendali mutu dan biaya. Kegiatan ini merupakan tanggung jawab Menteri Kesehatan yang dalam pelaksanaannya berkoordinasi dengan Dewan Jaminan Kesehatan Nasional. Pengawasan terhadap BPJS dilakukan secara eksternal dan internal. Pengawasan internaloleh organisasi BPJS meliputi: a. Dewan penga­was; dan b. Satuan pengawas internal. Sedangkan Pengawasan ekster­nal dilakukan oleh:
a. DJSN
b. Lembaga pengawas independen.